Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S.
Al Ahzab : 21)
Satu hal yang menjadi pola
kepemimpinan Nabi Muhammad saw yang telah dipraktikkannya, yakni
sikap Nabi yang selalu toleran terhadap siapapun. Di mana di dalamnya
terdapat proses interaksi antara Nabi Muhammad saw. dengan
ummatnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 125, yaitu:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S. An-Nahl: 125).
Ayat ini menggambarkan bahwa para
pemimpin harus senantiasa mengedepankan suasana dialogis dengan bersedia
bertukar pikiran melalui cara yang lebih baik dengan orang-orang yang
dipimpinnya. Sikap seperti ini sering Nabi Muhammad saw. Lakukan dalam
kepemimpinannya. Suasana dialogis tersebut tumbuh dalam sebuah kepemimpinan
demokratis dengan ciri berusaha menyinkronkan antara kepentingan dan tujuan,
mengutamakan kerja sama dalam pencapaian tujuan, terbuka terhadap kritik, mau
menerima saran dan pendapat orang lain. Sikap-sikap seperti itulah yang
dilakukan Nabi Muhammad saw. ketika menerima kritik dan saran. Ini
pernah terjadi ketika ada peristiwa– seorang sahabat mengkritik tentang sistem
pembagian harta ghanimah dari salah satu peperangan yang terjadi. Nabi
mendengar kritik ini dengan lapang dada walaupun kritik itu tidak
benar.
Sikap terbuka terhadap kritik dan
mendengar pendapat orang lain beliau tunjukkan
dalam proses musyawarah yang menjadi ciri kepemimpinan beliau yang
bersifat demokratis. Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad saw.
Untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam urusan-urusan penting dalam
memperhatikan pandangan mereka sebelum mengambil keputusan.
Beliau memberikan teladan besar bagi para pengikutnya dan menciptakan
semangat demokrasi serta kejujuran di kalangan mereka.
Sesuai petunjuk al-Qur’an
Nabi Muhammad saw mengembangkan budaya musyawarah di kalangan para
sahabat. Meskipun beliau seorang rasul tidak enggan beliau meminta pendapat dan
berkonsultasi kepada para sahabat dalam masalah kemasyarakatan, tetapi dalam
berkonsultasi Nabi Muhammad saw. tidak hanya mengikuti satu pola
saja, sering kali beliau bermusyawarah hanya kepada beberapa senior saja. Tidak
jarang pula beliau hanya meminta pertimbangan dariorang-orang yang ahli dalam
hal yang dipersoalkan/profesional. Terkadang beliau melemparkan masalah-
masalah kepada pertemuan yang lebih besar khususnya masalah-masalah yang
mempunyai dampak luas bagi umat. Terkadang Nabi Muhammad saw. tidak
selalu mengikuti nasihat para sahabat, beliau melakukan hal itu karena sering
mendapat petunjuk dan wahyu dari Allah.
Salah satu peristiwa yang memberi
bukti bahwa Nabi Muhammad saw selalu mengedepankan budaya musyawarah
sebagai wujud beliau yang demokratis terhadap siapapun yakni Menjelang perang
badar Nabi Muhammad saw. memutuskan posisi bagi beliau dan pasukan
Islam yang pada saat itu berada di dekat mata air.
Kemudian seorang yang berasal dari
kelompok Anshor, bernama Hubbab bin Mundhir datang kepada Nabi dan menanyakan
apakah keputusan Nabi itu berdasarkan atas petunjuk dari Allah atau keputusan
beliau sendiri dalam menghadapi strategi perang. Nabi menjawab bahwa keputusan
itu semata-mata perhitungan beliau dan bukan atas petunjuk Allah. Kemudian
Hubbab mengusulkan pendapat bahwa sebaiknya pasukan Islam menempati posisi
lebih maju dekat mata air yang paling depan, sehingga pasukan Islam dapat
mengisi kantong air mereka kalaupun nanti pasukan Islam harus terpaksa mundur.
Baru kemudian mata air ditutup dengan pasir agar pasukan musuh tidak dapat
memperoleh air. Atas saran itu Nabi menerima dan mengikuti apa yang diusulkan
oleh Hubbab.
Nabi Muhammad tidak merasa malu, bahkan menganjurkan
supaya menerima pendapat dan saran (nasihat) dari orang yang pekerjaannya atau
pendidikannya rendah sekalipun. Ini menunjukkan bahwa pada diri Nabi Muhammad
saw. tidak ada sifat keangkuhan intelektual (intellectual shobism) yang
merasa paling pandai dan serba tahu yang menjadi ciri tipe pemimpin
paternalistik. Wa Allahu a’lam
www.academia.edu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar